Fadli Zon Beri Penjelasan soal Pernyataannya Tak Ada Pemerkosaan Massal Mei 1998
- Arry
- 16 Juni 2025 18:23
Rencana Menteri Kebudayaan Fadli Zon meluruskan sejarah mendapat kritik. Salah satunya adalah soal kasus pemerkosaan pada kerusuhan Mei 1998.
Dalam keterangannya, Fadli Zon menegaskan tak menyangkal adanya kekerasan seksual pada kerusuhan Mei 1998. Namun dia menyebutkan, adanya silang pendapat soal ada tidaknya pemerkosaan massal pada peristiwa 13-14 Mei 1998.
“Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” ungkap Fadli dalam keterangannya, Senin, 16 Juni 2025.
“Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” lanjutnya.
Baca juga
Pemerintah Akan Revisi Sejarah, Termasuk Koreksi RI Dijajah Belanda 350 Tahun
Menurutnya, perlu adanya ketelitian dan kehati-hatian akadmeik saat menggunakan istilah “perkosaan massal”. Sebab, istilah ini dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” jelas politisi Gerindra itu.
“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” ujarnya.
Fadli Zon pun membantah buku Sejarah Indonesia versi baru yang tengah disusunnya telah menghilangkan narasi perempuan. Dia menegaskan, kontribusi dan perjuangan perempuan justru dimuat secara substansial dalam penulisan buku tersebut.
“Prinsip keterbukaan, partisipasi publik, profesionalisme dan akuntabilitas tentu tetap menjadi dasar penyusunan sejarah. Kami akan melakukan diskusi publik yang terbuka untuk menerima masukan dari berbagai kalangan, termasuk para tokoh dan komunitas perempuan, akademisi, dan masyarakat sipil,” ujar Menteri Kebudayaan itu.
“Sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang tanggung jawab kita di masa kini dan masa depan. Karena itu, mari kita menjadikannya ruang bersama untuk membangun pembelajaran, empati, dan kekuatan pemersatu,” tutupnya.
Artikel lainnya: Sah! Al Ghazali Resmi Menikah dengan Alyssa Daguise