Pengakuan Youtuber Diminta Sebar Hoax Soal Vaksin Covid-19

  • Arry
  • 30 Jul 2021 14:02
Ilustrasi Youtuber(Stock Snap/pixabay)

Produksi berita bohong alias hoax mengenai vaksin Covid-19 meningkat di tengah pandemi Covid-19. Merebaknya hoax itu ternyata disponsori sebuah perusahaan besar.

Mereka memanfaatkan jasa para pesohor di media sosial. Seperti selebgram hingga youtuber. Perusahaan itu memanfaatkan pengaruh besar dari youtuber dan selebgram dalam mempengaruhi masyarakat.

Hal tersebut pun diakui salah seorang youtuber asal Jerman, Mirko Drotschmann. Menurutnya, perusahaan tersebut meminta mempromosikan produk mereka dengan menjelek-jelekkan produksi vaksin lain.

"Cerita ini diawali dengan sebuah email," kata Mirko Drotschmann dikutip dari BBC.com.

Drotschmann mengaku sering menolak tawaran dari merek-merek tertentu, yang memintanya untuk mempromosikan produk mereka ke lebih dari 1,5 juta pengikut miliknya. Akan tetapi, di Mei lalu, ada tawaran lain yang diterimanya.

Perusahaan pemasaran bernama Fazze menawarkan Drotschmann untuk mempromosikan sesuatu yang mereka klaim sebagai informasi bocoran. Informasi itu soal tingkat kematian para penerima vaksin Pfizer yang hampir tiga kali lipat dari orang-orang penerima vaksin AstraZeneca. Nyatanya, informasi itu adalah hoaks belaka.

Bagi Drotschmann, semakin jelas bahwa dirinya diminta menyebarkan informasi menyesatkan. Guna mengikis kepercayaan publik terhadap vaksin.

"Saya terkejut, kemudian saya penasaran. Siapa di balik semua itu?" kata Drotschmann lagi.

Di Prancis, Youtuber sains, Leo Grasset, juga menerima tawaran serupa. Perusahaan itu menawarkan 2.000 euro atau sekitar Rp 34 juta padanya, jika Grasset berpartisipasi.

Fazze mengeklaim pihaknya hanyalah perantara bagi seorang klien, yang identitasnya tidak ingin diungkapkan. "Benar-benar mencurigakan," ujar Grasset.

Baik Grasset maupun Drotschmann, mereka sama-sama kaget oleh klaim perusahaan Fazze. Namun, mereka pura-pura tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Mereka kemudian diberikan instruksi rinci tentang apa yang mereka harus katakan dalam video Youtube.

Dalam bahasa Inggris yang patah-patah, instruksi itu menyuruh mereka "berakting seolah Anda punya semangat dan minat pada topik ini".

Instruksi itu juga memberikan mereka peringatan. Agar tidak menyebut, bahwa video yang mereka buat disponsori—serta berpura-pura mereka memberikan imbauan secara spontan demi kebaikan penonton.

Platform-platform media sosial punya aturan yang melarang pembuat video merahasiakan konten bersponsor. Di Prancis dan Jerman, tindakan itu juga tergolong ilegal.

Perusahaan Fazze pun menyuruh para influencer membagikan artikel dari surat kabar Prancis, Le Monde, soal kebocoran data dari Badan Obat-obatan Eropa (EMA). Artikel itu asli, tapi sama sekali tidak menyebutkan soal kematian akibat vaksin.

Namun, jika influencer menyebutkannya, ada kesan keliru mengenai statistik tingkat kematian berasal dari bocoran data tersebut.

Data yang harus disebut para influencer di video mereka, sejatinya digabung dari sumber-sumber berbeda. Serta ditarik keluar dari konteks.

Dengan begitu, influencer nantinya menyajikan jumlah orang yang meninggal dunia di beberapa negara saat setelah menerima vaksin Covid.

Dari statistik yang diambil dari negara-negara tertentu, mayoritas orang menerima vaksin Pfizer sehingga jumlah orang yang meninggal setelah menerima vaksinasi Pfizer seolah menjadi kesimpulan.

"Jika Anda tidak mendapat pelatihan sains, Anda bisa bilang, 'Oh angka-angka ini sangat berbeda, pasti ada kaitannya'. Tapi Anda tidak bisa serta-merta menyatakan ada korelasinya," kata Grasset.

Para influencer ini juga diberikan daftar tautan untuk dibagi ke khalayak. Berupa sejumlah artikel meragukan yang mengutip data-data janggal, seolah-olah menunjukkan vaksin Pfizer berbahaya.

Tatkala Grasset dan Drotschmann mengungkap tindakan perusahaan Fazze di Twitter, semua artikel—kecuali artikel Le Monde—menghilang dari jaringan internet.

Secara keseluruhan, rangkaian aksi Fazze untuk menyebarkan informasi menyesatkan ke publik telah gagal.

Kemudian, sejak Grasset dan Drotschmann mengungkapkan aksi tersebut, setidaknya empat influencer lain di Prancis dan Jerman yang ikut mengaku bahwa mereka menolak upaya Fazze untuk merekrut mereka.

Akan tetapi, wartawan Jerman, Daniel Laufer, menyebut ada dua influencer yang mengambil tawaran tersebut.

Menurut Laufer, dua individu itu mencakup Youtuber asal India, Ashkar Techy, yang biasa menayangkan konten soal mobil; serta Everson Zoio asal Brasil yang punya tiga juta pengikut di Instagram pribadinya.

Keduanya, mengunggah video-video yang memuat pesan seperti kampanye Fazze. Serta membagikan tautan berita palsu sebagaimana diinginkan perusahaan tersebut. Mereka juga telah berpartisipasi dalam promosi Fazze sebelumnya.

Setelah Daniel Laufer menghubungi mereka, Everson Zoio dan Ashkar Techy menghapus video masing-masing namun tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Daniel Laufer.

BBC juga berupaya menghubungi kedua influencer namun mereka tidak merespons. BBC pun telah mengirim email kepada orang yang menghubungi Grasset dan Drotschmann. Email itu memantul, bukan dari Fazze, tapi dari domain sebuah perusahaan bernama AdNow.

Fazze adalah bagian dari AdNow, yang merupakan perusahaan pemasaran digital dan terdaftar di Rusia serta Inggris. BBC berulang kali mencoba menghubungi AdNow melalui telepon, email, dan bahkan surat yang diantar kurir ke markas mereka di Moskow. Namun, perusahaan itu tak merespons.

Akhirnya BBC dapat mengontak Ewan Tolladay, satu dari dua direktur perusahaan Adnow cabang Inggris. Tolladay tinggal di Durham. Ia mengatakan dirinya hanya punya sedikit keterlibatan dengan Fazze—perusahaan yang dia sebut sebagai ventura gabungan antara direktur asal Rusia bernama Stanislav Fesenko, dan orang lain yang identitasnya tidak dia ketahui.

Tolladay mengeklaim dirinya bukan bagian dari upaya menyebarkan informasi menyesatkan ke publik. Ia juga mengeklaim, dirinya bahkan tidak tahu Fazze mengontrak para influencer sebelum berita itu terungkap. Namun, ia tidak bisa memberitahu siapa klien misterius yang dilayani Fazze.

"Pihaknya kini melakukan tanggung jawab dan menutup AdNow di Inggris," tegas Tolladay setelah skandal itu terbongkara.

Ia mengatakan Fazze juga akan ditutup. Baik aparat Jerman maupun aparat Prancis, telah menggelar penyelidikan terhadap Fazze, yang mendekati para influencer. Hingga saat ini identitas klien perusahaan itu masih belum jelas.

Ada spekulasi keterlibatan Rusia dalam skandal ini, dan kepentingan pemerintah Rusia dalam mempromosikan vaksinnya, Sputnik V.

Omid Nouripour, juru bicara bidang kebijakan luar negeri dari Partai Hijau di Jerman, menganjurkan, agar menyelidiki keterlibatan Moskow di balik kampanye Fazze.

"Menjelek-jelekkan vaksin di Barat melemahkan kepercayaan pada demokrasi kita dan ditengarai meningkatkan kepercayaan pada vaksin Rusia. Hanya ada satu sisi yang memeroleh manfaat dan itu adalah Kremlin," tukas Nouripour.

Kedutaan Rusia di London membantah anggapan tersebut.

"Kami memperlakukan Covid-19 sebagai ancaman global dan, karena itu, tidak tertarik melemahkan upaya global dalam melawan [pandemi]. Memvaksinasi orang dengan vaksin Pfizer adalah salah satu cara menangani virus ini." dikutip dari BBC.

Meskipun kampanye Fazze gagal, Leo Grasset yakin upaya tersebut bukanlah upaya terakhir untuk menggunakan kekuatan influencer sosial media guna menyebarkan hoaks.

"Jika Anda ingin memanipulasi opini publik, khususnya anak-anak muda, Anda tidak menggunakan TV," kata Grasset.

"Belanjakan anggaran yang sama untuk pembuat konten TikTok, YouTube. Seluruh ekosistem dibangun sempurna untuk memaksimalkan efisiensi penyebaran disinformasi." timpalnya mengakhiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait