Menguak Deretan Pasal Kontroversial di UU Kesehatan Omnibus Law

  • Arry
  • 14 Jul 2023 05:38
Ilustrasi alat kesehatan(@kwook/unsplash)

DPR resmi mengesahkan UU Kesehatan melalui metode Omnibus Law. Meski sudah sah, UU Kesehatan ini menyisakan banyak kontroversi.

Lima organisasi profesi kesehatan dengan tegas menolak pengesahan UU Kesehatan. Organisasi itu adalah: Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).

Berikut pasal-pasal yang dinilai kontroversial:

1. Mandatory spending atau alokasi anggaran

DPR dan Pemerintah telah sepakat menghapus alokasi anggaran kesehatan minimal 10 persen dari yang sebelumnya 5 persen. Tujuannya agar mandatory spending diatur bukan berdasarkan pada besarnya alokasi, tetapi berdasarkan komitmen belanja anggaran pemerintah.

Aturan baru ini dinilai justru tidak sesuai dengan amanah Deklarasi Abuja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan TAP MP RI X/MPR/2001.

2. Izin dokter asing

Dalam UU Kesehatan Omnibus Law, diatur kemudahan pemberian izin untuk dokter asing. Dalam UU itu disebutkan berbagai persyaratan bagi dokter asing maupun dokter WNI yang diaspora dan mau kembali ke dalam negeri untuk membuka praktik.

"Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP)," bunyi Pasal 233 UU Kesehatan.

Persyaratan yang harus dimiliki adalah: Surat Tanda Registrasi (STR) sementara, Surat Izin Praktek (SIP), dan Syarat Minimal Praktek.

Namun, jika dokter diaspora dan dokter asing itu sudah lulus pendidikan spesialis, maka mereka bisa dikecualikan dari persyaratan itu.

Aturan baru ini dinilai berbahaya. Sebab, dokter spesialis dapat beroperasi tanpa rekomendasi dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sebab, selama ini dokter wajib mendapatkan rekomendasi dari IDI berupa STR sebelum mengajukan permohonan SIP ke Kementerian Kesehatan.

3. Syarat surat keterangan sehat dan rekomendasi

UU Kesehatan mengubah persyaratan bagi seorang dokter untuk mendapatkan SIP. Untuk mendapatkan SIP sebagaimana diatur dalam Pasal 234 ayat 2, tenaga kesehatan harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi," demikian isi pasal 235 Ayat 1 UU Kesehatan.

IDI menilai, aturan tersebut sama saja menghapus peran organisasi profesi terkait persyaratan praktik tenaga kesehatan. Sebab, dengan aturan terbaru itu, seorang dokter tidak lagi memerlukan surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi buat mendapatkan SIP.

4. Pembatasan jumlah organisasi profesi

UU Kesehatan juga mengatur peran dan pembatasan organisasi profesi. "Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi," demikian isi Pasal 314 ayat 2 UU Kesehatan.

IDI mempertanyakan, apakah organisasi profesi tunggal itu nantinya diterapkan untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi menaungi tenaga kesehatan yang spesifik seperti dokter gigi, dokter mata, dan sebagainya.

5. Konsil kedokteran di bawah menteri

"Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri," demikian isi Pasal 239 ayat 2 UU Kesehatan.

IDI menilai, pasal itu akan melemahkan organisasi profesi karena sebagian besar tugasnya akan diambil alih Kemenkes. Sebab Konsil Kedokteran sebelumnya bersifat independen dan bertanggung jawab kepada presiden.

6. Kekhawatiran kriminalisasi nakes

Berlakunya UU Kesehatan ini membuat dokter dan tenaga medis menjadi khawatir soal ancaman kriminalisasi.

"Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun," demikian isi Pasal 462 ayat 1.

Ayat 2 disebutkan, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun".

IDI menilai pasal itu akan berpotensi munculnya kriminalisasi dokter lantaran tidak terdapat penjelasan rinci terkait poin kelalaian.

Artikel lainnya: Peneliti Temukan Emas Mengambang Rp8,3 Miliar di Perut Bangkai Paus Sperma

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait