Tata Cara Solat Jumat: Niat, Waktu dan Keutamaannya

  • Arry
  • 27 Agt 2021 05:37
Ilustrasi Solat di Masjid(@rumanamin/unsplash)

Solat Jumat termasuk ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Solat Jumat dikerjakan di waktu solat Dzuhur.

Hari Jumat termasuk hari paling mulia dibandingkan hari lainnya dalam sepekan. Abu Hurairah ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw:

“Hari terbaik di mana matahari terbit di hari itu adalah hari Jumat, pada hari itulah Nabi Adam as diciptakan, hari itu ia dimasukkan ke surga dan dikeluarkan dari sana, dan hari Jumat adalah hari tibanya kiamat.” (HR Ahmad)

Bila tidak karena kemuliaan hari Jumat, tidak mungkin rasanya Allah mengabadikan momen-momen bersejarah (awal mula dan penutup kehidupan) di hari tersebut. Sampai-sampai, malaikat sendiri menyebut hari Jumat dengan yaumul mazîd (hari bonus besar-besaran), sebab, di hari inilah Allah membuka sekian banyak pintu kasih sayang, karunia, dan kebaikan-Nya.

Dilansir dari laman NU Online, dalil solat Jumat dan Harinya yang Mulia Di antara dalil solat Jumat yaitu hadits riwayat Abul Ja’di ad-Dhamri. Rasulullah saw bersabda:

“Siapa pun yang meninggalkan solat Jumat tiga kali karena meremehkannya, maka Allah ta’âlâ akan mengecap )menutup( hatinya (sehingga tak mampu menerima hidayah).” (HR Ahmad dan al-Hakim. Hadits hasan).

Ada pula hadits riwayat Jabir bin Abdillah ra, Nabi saw bersabda:

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia wajib solat Jumat pada hari Jumat, kecuali bagi orang sakit, musafir, anak kecil, atau budak. Barangsiapa yang mengacuhkan solat Jumat karena lalai atau sibuk urusan perniagaan, maka Allah tak akan memperhatikannya, Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (HR al-Baihaqi)


Niat solat Jumat

Niat solat Jumat ada dua, berdasarkan status orang yang solat sebagai makmum atau imam.

Kalau sebagai makmum, maka niatnya:

Ushallî fardha jumu’ati ma’mûman lillâhi ta’âlâ.
Artinya, “Saya solat Jumat sebagai makmum karena Allah ta’âlâ.”

Jika sebagai imam, maka niatnya:

Ushallî fardhal jumu’ati imâmal lillahi ta’âlâ.
Artinya, “Saya solat Jumat sebagai imam karena Allah ta’âlâ.”

Demikian pula bila seseorang terlambat menuju solat Jumat dan ia tidak sempat melakukan satu rakaat bersama imam—dengan batasan ia tidak sempat ruku’ bersama imam di rakaat kedua—maka ia harus menyempurnakan solatnya menjadi solat Dzuhur empat rakaat, meskipun niatnya tetap niat solat Jumat.


Waktu Pelaksanaan solat Jumat

Sebenarnya waktu pelaksanaan solat Jumat sama persis dengan solat Dzuhur, yaitu sejak tergelincirnya matahari sampai bayangan suatu benda menjadi sepanjang bendanya.


Tiga Kategori Syarat solat Jumat

Solat Jumat mempunyai tiga kategori syarat, yaitu syarat wajib, syarat sah dan syarat in’iqâd.

Pertama, syarat wajib. Yaitu sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang yang mana wajib dan tidaknya solat Jumat tergantung pada ada dan tidaknya sifat tersebut.

  • Syarat wajib Jumat ada tujuh, yaitu:
  • Beragama Islam.
  • Baligh, mencapai usia 15 tahun, atau telah mengalami ihtilâm (mimpi basah).
  • Berakal sehat.
  • Merdeka, syarat ini hanya berlaku di masa ada perbudakan dahulu.
  • Laki-laki.
  • Sehat.
  • Bermukim.

Terkait syarat terakhir, sebenarnya dalam bab solat Jumat kita dikenal dua istilah, muqîm (orang yang bermukim) dan mustauthin (orang yang berdomisili). Makna kata domisili di sini berbeda dengan makna yang sering dipahami biasanya.

Kedua, syarat sah. Sah dan tidaknya solat Jumat tergantung apakah syarat-syarat sahnya terpenuhi atau tidak. Untuk hal ini, sama persis dengan syarat sah solat Dzuhur dan solat lainnya, hanya ada enam syarat tambahan yang membuatnya berbeda. Berikut rinciannya:

  1. Waktu pelaksanaannya yang terhitung sejak masuk waktu Dzuhur hingga tiba waktu Ashar. Karena itu, bila solat Jumat yang dilakukan belum usai hingga tiba waktu Ashar, maka solatnya harus disempurnakan menjadi solat Dzuhur tanpa mengubah niat.
  2. Tempat pelaksaanannya adalah sekitar pemukiman. Baik pemukiman itu terdiri dari bangunan kayu atau tumpukan batu-bata saja. Jelasnya, solat jumat tidak boleh dilaksanakan di selain sekitar pemukiman, seperti di padang sahara. Sebab, sejak masa Nabi saw sampai masa Khulafâ’ Râsyidûn solat Jumat tidak dilakukan di luar pemukiman.
  3. Jumlah jemaahnya harus mencapai 40 orang sebagai batas minimal, dengan kriteria berjenis laki-laki, mukalaf, merdeka, dan bermukim di daerah tersebut. Bilangan 40 adalah yang disepakati oleh mayoritas ulama. Dilakukan secara berjemaah. Karenanya, bila 40 orang solat sendiri-sendiri dalam satu masjid, misalnya, maka tidak sah. Berbeda dengan seorang masbuk yang menyempurnakan rakaat keduanya sendirian, solat Jumatnya tetap sah. Sebab, ia terhitung berjemaah.
  4. Tidak boleh terdapat dua jemaah solat Jumat dalam satu daerah, kecuali tidak ada tempat yang cukup menampung seluruh jemaah, meskipun bukan masjid atau meskipun tanah lapang. Jika masih bisa berkumpul dalam satu tempat, dan ternyata tetap dilaksanakan dalam dua, tiga, bahkan empat kelompok, maka yang sah adalah kelompok yang pertama kali melakukan takbîratul ihram.
  5. Dilakukan setelah pelaksanaan dua khutbah Jumat yang memenuhi syarat dan rukunnya.

Ketiga, syarat in’iqâd. Yaitu syarat yang menentukan solat Jumat tersebut dapat menggugurkan kewajiban solat Dzuhur jemaah yang lain atau tidak. Artinya, seseorang bisa saja solat Jumatnya sah, namun tidak dapat menggugurkan kewajiban solat Dzuhur jemaah lainnya, sehingga mereka harus melakukan solat Dzuhur setelah itu.

Lalu, apa saja syarat in’iqad tersebut? Secara umum yaitu ketika seluruh syarat wajib dan syarat sah terpenuhi secara sempurna. Secara lebih detail, Syekh Abu Bakr Usman bin Muhammad Syatha (wafat 1300 H) dalam kitab I’ânatut Thâlibîn menjelaskan enam macam jemaah solat Jumat berdasarkan statusnya:
1. Golongan yang memenuhi seluruh syarat wajib maupun syarat sah, maka solat Jumatnya in’iqâd.
2. Golongan yang wajib melakukan solat Jumat dan masuk kategori sah, namun tidak in’iqâd. Yaitu, orang yang hanya bermukim (muqîm) dan tidak berdomisili (mustauthin). Juga orang yang hanya mendengar azan Jumat dari satu daerah, sementara ia tidak di sana dan bukan bagian dari mereka.
3. Golongan yang wajib melakukan solat Jumat, namun tidak sah dan tidak in’iqâd. Yaitu orang yang murtad keluar dari agama Islam.
4. Golongan yang tidak wajib, tidak sah dan tidak in’iqâd. Yaitu orang kafir, anak kecil yang belum tamyiz, orang gila, ayan dan orang mabuk yang tidak ceroboh dalam sebab-sebab mabuknya (ghairu at-ta’addi).
5. Golongan yang tidak wajib, tidak in’iqâd, namun sah bila melakukan. Yaitu, anak kecil yang sudah tamyiz, budak, perempuan, khuntsa (orang berkelamin ganda; laki-laki dan perempuan), dan musafir.
6. Golongan yang tidak wajib solat Jumat, namun sah dan in’iqâd bila melakukannya. Yaitu orang yang tengah sakit atau yang dalam kondisi uzur yang membolehkannya tidak berjemaah. (Al-Bakri bin as-Sayyid Muhammad Syattha ad-Dimyathi, Hâsyiyyah I’ânatuth Thâlibîn, [Surabaya, Al-Haramain], juz II, halaman 54).

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait