4 Mahasiwa Gugat UU MD3 ke MK, Minta Pemilih Bisa 'Pecat' Anggota DPR

  • Arry
  • 20 Nov 2025 11:37
Mahkamah Konstitusi(mahkamah konstitusi/mahkamahkonstitusi.go.id)

Newscast.id - Empat mahasiswa menggugat UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) ke Mahkamah Konstitusi.

Empat mehasiswa itu adalah Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Muhammad Adnan. Mereka menggugat agar pemecatan anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD tak lagi menjadi kuasa partai politik, tetapi pemilih boleh melakukannya.

Aturan pemecatan anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD diatur dalam Pasal 239 ayat 1 huruf c UU MD3. Isinya:

1. Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:

a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.

Empat mahasiswa itu menilai, aturan itu inkonstitusional bersyarat. Sebab melanggengkan dominasi partai politik dalam mekanisme Pemberhentian Antar Waktu (PAW) atau recall anggota DPR.

Baca juga
MK Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil: Mundur atau Pensiun!

Mereka menilai, para pemilih mengalami kerugian konstitusional karena tidak diberi kesempatan untuk memberhentikan wakil mereka secara langsung, padahal kedaulatan ada di tangan rakyat.

"Pemohon sebagai pemegang kedaulatan tidak memiliki kesempatan yang sama untuk berperan langsung dalam mekanisme pemberhentian tersebut; karena sebagai pemilih, para pemohon kehilangan kesempatan untuk turut serta dalam penegakan hukum dalam jalannya pemerintahan karena kehilangan legitimasi atas akuntabilitas pejabat publik," kata pemohon dalam pokok permohonannya dikutip Kamis, 20 November 2025.

Dalam gugatannya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 239 ayat (1) huruf c UU MD3 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (konstitusional bersyarat) sepanjang tidak dimaknai bahwa anggota DPR dapat diberhentikan oleh konstituen di daerah pemilihannya.

"Menyatakan Pasal 239 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa anggota DPR dapat diberhentikan oleh konstituen di daerah pemilihannya," tulis petitum para pemohon.

Menurut pemohon, tidak adanya mekanisme recall oleh pemilih telah melanggar sejumlah pasal dalam UUD 1945. Seperti Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28D ayat (1).

Para pemohon menilai, kursi di DPR secara substantif adalah jatah kehadiran rakyat di daerah pemilihan (teritorial-kolektif), bukan milik partai politik atau individu yang terpilih, sehingga mekanisme recall harus mencerminkan sumber legitimasi tersebut.

Mereka pun menilai, kekuasaan penuh party recall lebih sesuai dengan sistem parlementer. Sedangkan Indonesia menganut sistem presidensial, yang seharusnya menyediakan mekanisme recall oleh konstituen. 

Artikel lainnya: Operasi Zebra 2025: Daftar Pelanggaran dan Besaran Denda Tilang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait