Sejarah Toko Buku Gunung Agung: Bermula dari Kios Rokok Seorang Mualaf

  • Arry
  • 23 Mei 2023 08:51
Toko Buku Gunung Agung pertama(wikiwand/wikiwand.com)

Kabar penutupan Toko Buku Gunung Agung menyita perhatian. Sebab, toko buku ini adalah salah satu toko buku tertua dan sudah berdiri sejak zaman kemerdekaan.

Penutupan Toko Buku Gunung Agung terjadi karena kerugian yang mereka derita beberapa tahun terakhir. Mulai dari gempuran era digital hingga pandemi Covid-19.

Hingga akhirnya PT GA Tiga Belas, perusahaan yang menaungi Toko Buku Gunung Agung secara perlahan menutup sejumlah outletnya sejak 2020. Selain itu, muncul pula isu pengurangan pegawai.

"Penutupan outlet yang terjadi pada tahun 2020 bukan merupakan penutupan outlet kami yang terakhir karena pada akhir tahun 2023 ini kami berencana menutup outlet milik kami yang masih tersisa," tulis keterangan dari PT GA Tiga Belas.

Baca juga
Ramai Pemecatan Massal, Manajemen Toko Buku Gunung Agung Buka Suara

Penutupan Toko Buku Gunung Agung ini menyita perhatian, sebab, perjalanan panjang toko buku ini dan meninggalkan banyak kesan bagi masyarakat Indonesia.

Bagaimana sejarah berdirinya Toko Buku Gunung Agung?

Melansir laman resmi, Toko Buku Gunung Agung merupakan salah satu perintis toko yang menjual buku dan alat tulis di Indonesia. Jaringan toko buku ini menyebar dari ujung Barat hingga ujung Timur Indonesia.

Toko Buku Gunung Agung didirikan oleh Tjio Wie Tay pada 1953. Belakangan Tjio Wie Tay memutuskan menjadi mualaf dan mengganti namanya menjadi Haji Masagung.

Tjio Wie Tay awalnya membentuk kongsi dagang bersama rekannya Lie Tay San dan The Kie Hoat. Mereka kemudian membentuk Thay San Kongsie pada 1945.

Kongsi dagang ini awalnya menjual rokok. Namun seiring perkembangan di zaman awal kemerdekaan, kongsi ini kemudian melihat ada peluang baru yakni menjual buku dan alat tulis.

Di era itu, buku sedang berkembang dan menjadi salah satu kebutuhan penting masyarakat saat itu seperti ditulis dalam buku Sejarah Perbukuan (2022).

Tjio kemudian mencoba membuka toko buku di Lapangan Kramat Bunder, Jakarta Pusat. Binis buku ini ternyata melejit dalam waktu yang pesat. Kongsi tersebut pun mulai melebarkan sayap dengan menjual buku dan majalah impor.

Karena bisnis bukunya makin melejit, Tjio dan rekannya menutup bisnis rokoknya. Mereka beralih untuk mencari cuan dari jualan buku dan majalah.

Pada 1951, Tjio Wie Tay membeli rumah sitaan kejaksaan di Jalan Kwitang nomor 13, Jakarta Pusat. Rumah ini kemudian ditata dan dijadikan percetakan kecil.

Tjio Wie Tay kemudian berniat serius menekuni bisnis buku ini dengan mendirikan Firma Gunung Agung pada 1953. Namunu, ide ini ditolak Lie Tay San.

Kongsi Tjio dan Lie kemudian bubar. Lie tau San memutuskan mundur dari Thay San Kongsie.

Perjalanan Toko Buku Gunung Agung pun mulai berjalan. Hal ini ditandai dengan dibukanya pameran buku di Jakarta pada 8 September 1953.

Dengan modal Rp500 ribu, Haji Masagung menggelar pameran dengan menghadirkan 10 ribu buku. Momen ini menjadi awal mula bisnis Toko Buku Gunung Agung.

Kedekatan dengan Bung Karno >>>

 

Dari pameran buku yang digelar di Deca Park, Gedung Pertemuan (sekarang menjadi lapangan Monas), Haji Masagung mengenal banyak tokoh nasional. Termasuk Presiden Soekarno.

Dari perkenalan ini, Haji Masagung dipercaya menggelar rangkaian pameran buku di pameran buku di dalam dan luar negeri.

Bisnis Gunung Agung makin besar. Hal ini ditandai dengan pendirian gedung berlantai tiga di Jalan Kwitang Nomor 6, yang diresmikan langsung oleh Bung Karno pada 1963.

Dalam buku biografi Haji Masagung berjudul 'Di Usia Senja Ingin Mengharumkan Nama Islam', penulis Murthiko menyatakan, Haji Masagung memiliki peran besar menyuplai bahan bacaan berbahasa Indonesia saat Operasi Trikora, sebuah operasi penggabungan Irian Barat ke Indonesia pada 1961.

"Ia segera mendirikan Toko Buku di berbagai kota di Irian Barat. Ia juga rajin mengirimkan buku-buku berbahasa Indonesia untuk menggantikan buku-buku berbahasa Belanda (hal. 29). Tak hanya menyuplai buku, Masagung juga menyelenggarakan pameran buku di beberapa kota di Irian Jaya."

Haji Masagung tak hanya dekat dengan Bung Karno. Tetapi juga dengan Bung Hatta. Bahkan dari persahabatan itu, nama Mohammad Hatta masuk sebagai komisaris PT Gunung Agung. Terdapat pula nama tokoh nasional lainnya seperi Adinegoro dan HB Jassin.

Gunung Agung pun menjadi pemrakarsa penyusunan bibliografi (daftar buku lengkap) dalam bentuk katalog. Mereka sampai membentuk tim khusus bernama Bibliografi Buku Indonesia yang dipimpin oleh Ali Amran yang menjadi kepala Bagian Penerbit PT Gunung Agung.

PT Gunung Agung terus berkembang. Mereka bahkan memiliki sembilan anak usaha yang merambah berbagai sektor bisnis. Seperti agen alat tulis Parker, bisnis rokok Dunhill dan Rothmann, agen perdagangan film Kodak melalui PT Inter Delta, money changer melalui PT Ayu Masagung, hingga sektor properti, serta bisnis makanan dan minuman.

"Majunya usaha kami ini karena banyaknya tantangan dan rintangan yang berliku-liku. Modal bukanlah satu-satunya syarat mutlak untuk menjadi wiraswasta yang berhasil. Yang terpenting adalah adanya kemauan keras, keberanian, cita-cita, kreatif, kepercayaan kepada diri sendiri, dan juga nama baik,‟ kata Haji Masagung, Pendiri Toko Buku Gunung Agung.

Haji Masagung meninggal dunia pada September 1990. Sebelum meninggal dunia, Haji Masagung menyerahkan pengelolaan bisnis termasuk Toko Buku Gunung Agung pada tiga anaknya. Yakni Putra Masagung, Made Oke Masagung, serta Ketut Masagung.

Namun meski sudah bertahan hingga 70 tahun, Toko Buku Gunung Agung tak mampu bertahan menghadapi gempuran digitalisasi. Toko buku legendaris itu pun memutuskan menutup seluruh gerainya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait